Nama : Indah Agelita
NPM : 13110487
Kelas : 4KA33
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide,
prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap.
Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan
untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan
pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka
secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya
publikasi dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta ©. Perlindungan
hukum terhadap pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai upaya untuk
mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat
mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Normal 0 false
false false EN-US X-NONE X-NONE
Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Cipta [Berdasarkan Tinjauan Hukum]
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah melahirkan manusia lebih kreatif dan
inovatif. Kreatifitas ini di antaranya mencakup pada bidang seni, sastra
dan ilmu pengetahuan. Dengan kemampuan manusia melahirkan kreatifitas,
kini muncul upaya-upaya untuk memberikan perlindungan dan penghargaan
atas keberhasilan dalam melahirkan kreatifitas tersebut. Bentuk dari
perlindungan dan penghargaan ini saat ini dikenal dengan istilah hak
kekayaan intelektual. Salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual
yang melingkupi pada bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan dikenal
dengan istilah hak cipta.
Dalam sejarah
perkembangan istilah hak cipta (bahasa Indonesia yang lazim dipakai
sekarang) pada awal mulanya istilah yang dikenal adalah hak pengarang
sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa Belanda Autersrecht. Baru pada
Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2 Oktober 1951 di Bandung, penggunaan
istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang menyempitkan
pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai adalah hak pengarang,
seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak dari pengarang saja
dan hanya bersangkut paut dengan karang mengarang saja, sedangkan
cakupan hak cipta jauh lebih luas dari hak-hak pengarang. Karena itu,
kongres memutuskan untuk mengganti istilah yang diperkenalkan dengan
istilah hak cipta.
Suatu kreasi
intelektual dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan dapat
melahirkan hak cipta. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
L.J. Taylor
menyatakan hak cipta melindungi suatu ekspresi dari sebuah ide,
sedangkan ide yang belum diwujudkan belum dilindungi. Dari pengertian
ini sangat jelas bahwa hak cipta diberikan hanya pada karya-karya yang
merupakan penuangan ide secara nyata, bukan sekedar gagasan dan ide
semata.
Pengertian hak
cipta yang diuraikan di atas selain memberikan pemahaman tentang hak
cipta dalam pengertian itu menunjukkan karakteristik dari hak cipta.
Karakteristik hak cipta mencakup pada: Pertama,pemegang hak cipta terdiri dari pencipta atau penerima hak; Kedua,hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak; Ketiga;dapat diberikan hak eksklusif tersebut kepada pihak lain dengan memberi izin; Keempat,hak cipta timbul secara otomatis; hak cipta mencakup pada bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.
Hak cipta memiliki
dua macam hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak
yang melekat pada diri pencipta. Hak moral diatur di dalam ketentuan
Pasal 24 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Hak Cipta.
Dari ketentuan ini dapat ditetapkan bahwa moral meliputi pada: Pertama,nama pencipta harus dicantumkan dalam ciptaannya; Kedua,ciptaan tidak boleh diubah kecuali atas persetujuan pencipta atau ahli waris; Ketiga,nama pencipta atau nama samaran pencipta tidak boleh dilakukan perubahan; Keempat,judul dan anak judul ciptaan tidak boleh dilakukan perubahan.
Muhammad Djumhana
mengemukakan bahwa hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan
pribadi si pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum
kontinental, yaitu Perancis. Menurut konsep hukum kontinental hak
pengarang (droit d’auteur, author rights)terbagi
menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi
seperti uang, dan hak moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi
si pencipta.
Di setiap negara
umumnya hak ekonomi di dalam hak cipta terdiri dari: hak reproduksi atau
penggandaan, hak adaptasi, hak distribusi, hak penampilan (performance rights), hak penyiaran (brodcasting right), hak program kabel, droit de suite,dan hak pinjam masyarakat (public lending rights).
Lingkup hak cipta
meliputi pada bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Pasal 12 ayat
(1) UU Hak Cipta menentukan jenis-jenis ciptaan yang diberikan hak cipta
secara terperinci. Penetapan beberapa jenis ciptaan yang diberikan hak
cipta ini sebenarnya tidak membatasi atas pemberian hak cipta atas
ciptaan lain di luar yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat
(1) UU Hak Cipta.
Untuk memperoleh
hak cipta, pemegang hak cipta berdasarkan ketentuan hukum hak cipta
bersifat otomatis tatkala ciptaan diwujudkan secara nyata. Hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Hak Cipta yang menyatakan:
Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan konsepsi
perolehan hak cipta, maka apapun bentuk ciptaannya sepanjang tidak
dikategorikan sebagai ciptaan yang tidak ada hak cipta dan dan
diwujudkan secara nyata dalam lingkup bidang seni,sastra dan ilmu
pengetahuan dapat memperoleh hak cipta.
Apabila saat ini
ada yang berpandangan bahwa hak cipta diperoleh melalui mekanisme
pendaftaran sebenarnya merupakan pandangan yang tidak tepat. Pendaftaran
ciptaan memang terdapat pengaturannya. Pengaturan tersebut ditemukan
dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Hak Cipta yang
menyatakan:
(1) Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dan dicatat dalam daftar umum ciptaan.
(2) Daftar umum ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari daftar umum ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta.
Berdasarkan
ketentuan ini dapat diketahui, lembaga yang menyelenggarakan pendaftaran
adalah Direktorat Jenderal HKI. Ciptaan yang terdaftar akan dimuat
dalam Daftar Umum ciptaan yang dapat diakses oleh publik. Di samping
dapat akses kepada Daftar Umum ciptaan, khusus untuk petikan daftar umum
juga dapat diakses oleh publik tanpa dikenai biaya. Sejalan dengan
ketentuan Pasal 35 UU Hak cipta, Pasal 37 sampai Pasal 44 UU Hak Cipta
mengatur lebih jelas prosedur pendaftaran ciptaan.
Adapun inti dari
prosedur pendaftaran ciptaan yang dimaksud dimulai dengan pengajuan
permohonan ke Direktorat Jenderal HKI. Direktorat Jenderal HKI dilakukan
pemeriksaan. Pemeriksaan ini meliputi dua macam, yakni pemeriksaan
administratif, di mana yang diperiksa berupa kelengkapan persyaratan –
persyaratan administratif dan pemeriksaan substantif, di mana yang
diperiksa berupa keorisinalan ciptaan dari pencipta atau pemegang hak
cipta atas ciptaan yang dimohonkan.
Apabila dalam pemeriksaan administratif ada kekuranglengkapan, maka
akan diberitahukan kepada pemohon. Kemudian, apabila dalam pemeriksaan
substantif tidak ada nilai orisinalitasnya dari ciptaan, maka permohonan
pendaftaran ciptaan akan ditolak.
Penentuan
orisinalitas, dapat dipahami dalam konteks karya tersebut haruslah
dihasilkan oleh orang yang mengakui karya tersebut sebagai karangan atau
ciptaannya. Karya tersebut tidak boleh dikopi atau direproduksi dari
karya lain. Jika si pencipta atau pengarang telah menerapkan tingkat
pengetahuan, keahlian dan penilaian yang cukup tinggi dalam proses
penciptaan karyanya, hal ini sudah dianggap cukup memenuhi sifat
keaslian guna memperoleh perlindungan hak cipta.
Ciptaan yang
dihasilkan tersebut akan merupakan ciptaan asli, jika ciptaan tersebut
tidak merupakan jiplakan/tiruan dari ciptaan lain dari pencipta telah
menggunakan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau
keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan pribadi.
Untuk pemohon yang
tidak dapat menerima penolakan pendaftaran ciptaan dapat mengajukan
keberatan ke Pengadilan Niaga. Bagi permohonan pendaftaran ciptaan yang
telah memenuhi kelengkapan administratif dan orisinalitas dapat
dipastikan permohonan ciptaannya akan didaftar. Setelah dilakukan
pendaftaran, maka dimuat di dalam Daftar Umum dan dalam Tambahan Berita
Negara.
Permohonan
pendaftaran ciptaan tersebut, Direktorat Jenderal HKI akan memberikan
keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan secara lengkap. Perlu diketahui, pendaftaran
ciptaan sebagaimana yang telah diuraikan tadi pada dasarnya bukan
merupakan sarana untuk memperoleh hak cipta. Hal ini sejalan dengan
Penjelasan ketentuan Pasal 35 ayat (4) UU Hak Cipta.
Dari paparan secara
keseluruahan mengenai perolehan hak cipta dapat diketahui, hak cipta
diperoleh secara otomatis ketika ciptaan dilahirkan. Pendaftaran ciptaan
sebagai sebuah ketentuan di dalam UU Hak Cipta bukanlah sebagai sarana
untuk memperoleh hak cipta.
- Bentuk Pelanggaran dan Mekansime Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta
Hak cipta sebagai
hak monopoli, di mana di dalamnya terdapat dua macam hak, sangat
potensial mengalami pelanggaran. Pelanggaran tersebut dapat mencakup
pada pelanggaran hak moral dan hak ekonomi. Pelanggaran hak moral atas
ciptaan dapat diwujudkan dengan tidak mencantumkan nama pencipta atau
melakukan perubahan atas ciptaan tanpa seizin penciptanya.
Pelanggaran hak
ekonomi atas ciptaan dapat diwujudkan dengan melakukan pengumuman dan
perbanyakan yang dimaksudkan untuk tujuan komersial. Pelanggaran hak
cipta selain dapat dilihat dari segi isi hak cipta sendiri, dapat juga
dilihat dari sisi bentuk pelanggarannya. Pelanggaran hak cipta ini dapat
berupa pelanggaran hak cipta yang mengandung unsur keperdataan dan
pelanggaran hak cipta yang mengandung unsur pidana.
Pelanggaran hak
cipta yang mengandung unsur keperdataan biasanya dibuktikan dengan
adanya kerugian dari pihak pencipta atau pemegang hak cipta baik secara
materiil maupun imateriil, sedangka pelanggaran hak cipta yang
mengandung unsur pidana dibuktikan dengan terpenuhinya unsur-unsur
sebagaimana yang tertuang di dalam ketentuan Pasal 72 ayat (1), (2),
(3), (4), (5), (6), (7), (8), (9) UU Hak Cipta. Menurut Trisno Raharjo
dari ketentuan ini dapat ditentukan jenis pelanggaran hak cipta yang
mengandung unsur pidana, yakni:
(1) Tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dan hak terkait.
(2) Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau hak terkait yang berasal dari pelanggaran
hak cipta.
(3) Tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
(4) Larangan pengumuman ciptaan bertentangan dengan
kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara,
kesusilaan serta ketertiban umum.
(5) Tanpa izin memperbanyak atau mengumumkan potret seseorang atau potret yang memuat dua orang atau lebih.
(6) Tanpa hak mengubah hak cipta, judul, anak judul dan
mengubah nama atau nama samaran pencipta serta tidak mencantumkan nama
pencipta.
(7) Tanpa hak meniadakan atau mengubah informasi elektronik tentang informasi menajemen hak pencipta.
(8) Tanpa hak merusak, meniadakan atau membuat tidak berfungsi saran kontrol teknologi pengaman hak pencipta.
(9) Tanpa izin tidak memenuhi persyaratan produksi yang
ditetapkan guna menghasilkan ciptaan yang menggunakan sarana produksi
berteknologi tinggi khususnya di bidang cakram optik.
Sementara itu
ketentuan Pasal 72 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 73 ayat (1) UU Hak Cipta
memuat unsur-unsur pelanggaran sebagai berikut: 1). Barangsiapa; 2).
Dengan sengaja; 3). Tanpa hak; 4). Mengumumkan, memperbanyak,
menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual; 5). Hak cipta dan hak
terkait. Uraian dari setiap unsur tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Pertama, unsur barangsiapa. Ini menandakan yang menjadi subjek delik adalah : “siapapun”.
Kalau menurut KUH Pidana yang berlaku sekarang, hanya manusia yang
menjadi subjek delik, sedangkan badan hukum tidak menjadi subjek delik.
Tetapi, dalam undang-undang khusus seperti Undang-Undang Tidak Pidana
Ekonomi, badan hukum atau korporasi juga menjadi subjek delik. Dalam hal
ini barangsiapa termasuk pula “badan hukum” atau “korporasi”. Dalam UU Hak Cipta, “barang siapa”
bisa ditunjuk antara lain, kepada pelaku dan produser rekaman suara.
Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang
menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan,
mendeklamasikan atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra,
foklor, atau karya seni lainnya. Produser rekamana suara adalah orang
atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab
untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman
dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi
lainnya.
Kedua, unsur dengan sengaja. Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajan atau opzet bukan unsur culpa(kelalaian).
Ini adalah layak, oleh karena biasanya yang pantas mendapat hukuman
pidana itu ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajan
ini dapat berupa kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk),kesengajaan secara keinsafan kepastian (Opzet bij zekerheidsbewustzijn),dan kesengajaan secara keinsfan kemungkinan (Opzet bij mogelijkheidsbewustzjin).
Ketiga,
unsur tanpa hak. Mengenai arti tanpa hak dari sifat melanggar hukum,
dapat dikatakan bahwa mungkin seseorang tidak mempunyai hak untuk
melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu
peraturan hukum. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Hak Cipta,
pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak
yang menerima hak tersebut dari pencipta. Pemilik hak cipta dapat
mengalihkan atau menguasakan sebagai atau seluruh haknya kepada
orang/badan hukum baik melalui perjanjian, surat kuasa maupun dihibahkan
atau diwariskan. Tanpa pengalihan atau kuasa tersebut, maka tindakan
itu merupakan “tanpa hak.”
Keempat,
unsur perbuatan dapat dikualifikasikan dalam bentuk mengumumkan.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU Hak Cipta, pengumuman adalah
pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran atau penyebaran
suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet,
atau melakukan dengan cara apa pun, sehingga suatu ciptaan dapat dibaca,
didengar, atau dilihat orang lain; dan unsur memmperbanyak
(perbanyakan), menurut ketentuan Pasal 1 ayat (6) UU Hak Cipta, adalah
penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun sebagian
yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama
ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau
temporer.
Kelima,
hak cipta. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Hak Cipta adalah hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu, dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hak terkait menurut ketentuan Pasal 1 angkat 9 UU Hak
Cipta adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak eksklusif
bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya, bagi
produsen rekaman suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman
suara atau rekaman bunyinya dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat,
memperbanyak atau meniarkan karya siarannya.
Pelanggaran hak
cipta dalam konteks musik dan lagu dikenal juga dengan pembajakan.
Menurut Hendra Tanu Atmadja, pembajakan dapat dibagi ke dalam tiga
kategori, yakni:
Pertama, pembajakan sederhana, di mana suatu
rekaman asli dibuat duplikatnya untuk diperdagangan tanpa seizin
produser atau pemegang hak yang sah. Rekaman hasil bajakan dikemas
sedemikian rupa, sehingga berbeda dengan kemasan rekaman aslinya.
Kedua,
rekaman yang dibuat duplikatnya, kemudian dikemas sedapat mungkin mirip
dengan aslinya, tanpa izin dari pemegang hak ciptanya. Logo dan merek
ditiru untuk mengelabui masyarakat, agar mereka percaya bahwa yang
dibeli itu adalah hasil produksi yang asli.
Ketiga,
penggandaan perekaman pertunjukan artis-artis tertentu tanpa izin dari
artisnya tersebut atau dari komposer atau tanpa persetujuan dari
produsen rekaman yang mengikat artis bersangkutan dalam suatu perjanjian
kontrak.
Pelanggaran hak
cipta dengan pembajakan pada musik dan lagu ini dapat merugikan pemegang
hak dan masyarakat secara luas. Sebagai perbandingan bahwa pelanggaran
hak cipta dapat merugikan secara ekonomi dilihat pada beberapa kasus
yang terjadi di Eropa. Pada tahun 1993 menunjukkan bahwa cukup banyak
kerugian yang dialami para kreator karena kreasi-kreasinya di bidang
musik di bajak oleh pihak lain. Sebagai contoh, di Jerman, Italia dan
Polandia jumlah kerugian yang dialami para kreator masing-masing
mencapai lebih dari U$. 100.000.000,00 (seratus juta dolar) atau lebih
dari Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah). Begitu pula
kerugian yang dialami oleh para penerbit di Inggris atas pembajakan
penerbitan yang terjadi di manca negara telah mencapai lebih dari
200.000.000,00 (dua ratus juta poundsterling) atau lebih dari Rp.
600.000.000.000,00 (enam ratus milyar rupiah). Dalam data ini, kerugian
yang dialaminya di Indonesia mencapai 15.000.000,00 (lima belas juta
poundsterling) pada tahun 1993, sedangkan penyalahgunaan program
komputer pada tahun 1993 tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang
seperti Thailand yang mencapai 99% (sembilan puluh persen) atau senilai
U$ 181.000.000,00 (seratus delapan puluh satu juta dolar), tetapi juga
di negara-negara industri maju seperti Jepang yang mencapai 92%
(sembilan puluh dua persen) atau senilai U$ 3.000.000.000,00 (tiga
milyar dolar), Perancis, Jerman dan Italia penyalahgunaannya mencapai
lebih dari 50% (lima puluh persen).
Melihat pada bentuk
pelanggaran di atas dibutuhkan upaya penyelesaian sengketa pelanggaran
hak cipta. Sebelum berlakunya Persetujuan TRIPs tidak ada satupun
perjanjian internasional, termasuk Konvensi Bern yang mengatur secara
terinci tentang prosedur penegakan hukum bagi perlindungan hak cipta.
Menurut Pasal 41 ayat (1) TRIPs adalah menjadi kewajiban negara peserta
menjamin prosedur penegakan hukum yang dapat diterapkan dalam hukum
negara peserta perjanjian seperti dimungkinkannya melakukan tindakan
efektif terhadap setiap perbuatan melanggar HKI yang dilindungi perjanjian ini.
Mekanisme
menyelesaikan pelanggaran hak cipta yang mengandung unsur keperdataan
dapat diawali dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga atau dapat
diselesaikan dengan menggunakan mekanisme alternatif penyelesaian
sengketa dan arbitrase sebagaimana yang diatur dalam UU No. 30 Tahun
1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase.
Apabila
penyelesaian melalui gugatan ke Pengadilan Niaga masih dianggap belum
memberikan rasa keadilan kepada pihak-pihak, maka dapat dilakukan upaya
hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung dan pada akhirnya dapat melakukan
upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Dalam konteks penyelesaian pelanggaran hak cipta ini dikenal ada ketentuan tentang penetapan sementara (injunctions).
Adanya ketentuan penetapan sementara sebagai kewenangan akim Pengadilan
Niaga ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada
pihak yang haknya dilanggar. Untuk keperluan ini atas permohonan
pemegang hak cipta, hakim Pengadilan Niaga diberi kewenangan untuk
menerbitkan penetapan sementara dengan segera dan efektif guna mencegah
berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang yang diduga melanggar hak
cipta dan hak terkait ke jalur perdagangan termasuk tindakan importasi.
Penetapan sementara
sebagai upaya hukum yang dapat dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga dengan
segera dan efektif menimbulkan beberapa persoalan yang perlu difikirkan
pemecahannya. Upaya hukum penetapan sementara dalam hukum Indonesia
merupakan suatu sistem hukum baru. Ada kemiripan dengan putusan sela
yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Namun, terdapat perbedaan
hakiki antara putusan sela dan penetapan sementara yang telah lama
dikenal dan sering dipakai dalam pengadilan negara-negara dengan sistem
hukum anglo saxon. Penetapan sementara adalah suatu keputusan pengadilan
niaga yang mendahului pemeriksaan suatu perkara, yang berarti sebelum
pokok perkara diperiksa oleh hakim pengadilan niaga. Sedangkan putusan
sela berdasarkan Pasal 108 HIR dapat diajukan permohonannya oleh pihak
yang berperkara pada saat perkara sedang berproses di pengadilan.
Hak untuk
mengajukan gugatan perdata sebagaimana diuraikan di atas tidak
mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap
pelanggaran hak cipta. Untuk mekanisme penyelesaian pelanggaran hak
cipta yang mengandung unsur pidana dapat diselesaikan dengan peran aktif
dari aparat penegak hukum. Proses penyelesaian pelanggaran hak cipta
dalam konteks ini dapat dilakukan melalui proses penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Apabila putusan di Pengadilan
Negeri dianggap belum dapat memberikan rasa keadilan, maka dapat
dilakukan upaya hukum berupa banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi
serta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Perlu diketahui,
delik pidana yang dianut ileh UU Hak Cipta berupa delik biasa. Di mana
pihak penyidik dapat secara pro aktif melakukan tindakan hukum kepada
pihak pelanggar tanpa harus menunggu adanya pengaduan dari pihak yang
dirugikan.
a. Ciptaan Yang Dilindungi
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
menetapkan secara rinci ciptaan yang dapat dilindungi, yaitu :
1. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu
alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan
3. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks
4. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime
5. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan,
Arsitektur, Peta, Seni batik, Fotografi, Sinematografi
6. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.
b. Ciptaan Yang Tidak Diberi Hak Cipta
Sebagai Pengecualian Terhadap Ketentuan Di Atas, Tidak Diberikan Hak Cipta Untuk Hal - Hal Berikut :
1. Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara
2. Peraturan perundang-undangan
3. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah
4. Putusan pengadilan atau penetapan hakim
5. Keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
BENTUK DAN LAMA PERLINDUNGAN
Bentuk perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut
kecuali dengan seijin Pemegang Hak Cipta. Jangka waktu perlindungan Hak
Cipta pada umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung
hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Namun
demikian, pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan :
1. Program computer
2. Sinematografi
3. Fotografi
4. Database
5. Karya hasil pengalih wujud dan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
PELANGGARAN DAN SANKSI
Dengan Menyebut / Mencantumkan Sumbernya, Tidak Dianggap Sebagai Pelanggaran Hak Cipta Atas :
Penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar
dari Pencipta.
Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan.
Pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika
Perbanyakan itu bersifat komersial.
Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas
dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan
umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi
yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya: perubahan
yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya
arsitektur, seperti Ciptaan bangunan : pembuatan salinan cadangan suatu
Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan
semata-mata untuk digunakan sendiri.
Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan
sengaja atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain dapat dikenakan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah). Selain itu, beberapa sanksi lainnya adalah:
Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta dipidana dengan dengan pidana penjara
maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program
komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu
diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan
suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta
maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapat
surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal
di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan
tersebut. Ciptaan dapat didaftarkan ke Kantor Hak Cipta, Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual-Departemen Hukum dan HAM (Ditjen
HKI-DepkumHAM).
Sumber :
http://nillafauzy.blogspot.com/2013/04/ruang-lingkup-undang-undang-tentang-hak.html
http://mildsend.wordpress.com/2013/06/26/pengertian-dan-ruang-lingkup-hak-cipta/